Deploy Crystal Report Infrastructure on AWS using Packer and Terraform

If you are using Crystal Reports part of your product stack in AWS then this tutorial might help you to deploy infrastructure in almost no time with some configuration changes based on your need…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Getir Banjir dan Geliat Muslihat di Jakarta

Esai / Warga

Dalam bayang-bayang penggusuran di metropolitan, ada masyarakat yang juga rentan dilanda genangan setinggi badan. Mereka bertahan dengan cara-cara yang “liyan” — diiringi lantunan ketidakpercayaan.

Sumber: metro.tempo.co, 2018.

Saat ini, banjir di Jakarta berkembang menjadi fenomena yang semakin kompleks. Sulit untuk mencari akar masalahnya, apalagi menyajikan solusi yang efektif dan efisien. Ketika ia menjadi bahan perbincangan atau juga diskusi akademik dengan jarak yang cukup kentara dengan realitanya, banjir tetap melanda dan menjadi bagian dari keseharian warga Jakarta, terutama mereka yang paling rentan dan tidak terjangkau bantuan pemerintah.

Ketahanan terhadap bencana tidak hanya berkutat pada kebijakan dan pembangunan infrastruktur saja, tetapi kapasitas kolektif masyarakat dalam menangani bencana (Marfai, Sekaranom, dan Ward, 2015; Cutter, Barnes, Berry, Burton, Evans, Tate, dan Webb, 2008; Norris, Stevens, Pfefferbaum, Wyche, dan Pfefferbaum, 2007). Seiring waktu, masyarakat mengembangkan kemampuan untuk bertahan dari ancaman banjir secara organik, merekayasa ruang tempat tinggalnya sedemikian rupa, menyesuaikan kebutuhan dan keadaan genting. Dalam kasus banjir di Jakarta, terdapat beberapa kelompok masyarakat yang tidak bergantung pada bantuan pemerintah, dan menunjukkan usaha-usaha gigih, istimewa, dan solid dalam melawan genangan yang seringkali merugikan.

Tidak hanya frekuensinya yang cukup sering terjadi, banjir harus dipahami sebagai sebuah masalah yang multidimensi dan multiaspek, apalagi ketika terjadi di sebuah wilayah metropolitan. Selain faktor alami, banjir juga didorong oleh pertumbuhan penduduk dan kegiatannya. Di Jakarta, banjir diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti lokasinya yang memang rentan terhadap banjir, intensitas hujan yang relatif besar, serta faktor-faktor nonalam seperti tingkat urbanisasi dan perubahan guna lahan yang tinggi, di mana hal ini juga berujung pada sedimentasi dan tersumbatnya jalur air (Ward, Pauw, van Buuren, dan Marfai, 2013; Budiyono, Aerts, Tollenaar, dan Ward, 2016).

Salah satu hal yang patut disorot kemudian adalah bagaimana — saat berbagai intervensi top-down dan kebijakan untuk menghambat ancaman banjir secara makro dikerahkan — masyarakat yang sehari-hari terus terancam dan menghadapi banjir bertahan?

Salah satu tinjauan menarik datang dari Van Voorst (2014; 2015; 2016), yang juga menulis buku berjudul Tempat Terbaik di Dunia. Pengalamannya melakukan penelitian lapangan dan menerbitkan artikel ilmiah menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan rawan banjir seperti kampung di pinggiran sungai memiliki cara-cara tersendiri dalam menghadapi banjir.

Seperti yang diterangkan sebelumnya, desentralisasi tampak memberikan perubahan yang signifikan dalam penanganan banjir di tingkat lokal (Van Voorst, 2016). Kelurahan menjadi unit pemerintahan yang vital, di mana saat ini segala keperluan materiel dan imateriel untuk menghadapi banjir disediakan oleh institusi tersebut, seperti tenda darurat, perahu karet, dan juga pengetahuan terkait penanganan banjir yang terlihat dari sistem peringatan dini dan evakuasi yang dikembangkan oleh kelurahan itu sendiri.

Secara formal, peringatan banjir di Jakarta diawali oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat provinsi yang menerima pesan dari pintu air di Depok dan Manggarai. Selanjutnya, BNPB memberitahu kelurahan, kecamatan, dan KORAMIL setempat yang diprediksi akan terkena banjir. Setelah itu, institusi terkait memperingatkan warga dengan sirine yang biasanya ada di mesjid setempat.

Namun, melalui penelitian lapangannya, Van Voorst mendapati bahwa masyarakat langsung mendapat peringatan dari petugas di pintu air lewat saluran radio atau pesan teks. Lalu, mereka yang mendapati peringatan kemudian menyebarkan pesan ke yang lain melalui pesan teks dan teriakan-teriakan. Sehingga, kelurahan, kecamatan, dan KORAMIL tidak terlalu berperan dalam jalur ini.

Mengapa masyarakat tidak bergantung pada proses komunikasi yang seharusnya? Ternyata, alasannya bukanlah waktu, karena konfirmasi formal juga sebetulnya datang dua jam sebelum banjir terjadi. Lebih dari itu, terdapat alasan lain, yakni jalur “informal” telah dipakai jauh sebelum dikembangkannya jalur komunikasi formal. Beberapa tokoh masyarakat telah memiliki walkie-talkie dan menjalin relasi (atau dalam bahasa Van Voorst, “berinvestasi”) dengan petugas pintu air.

Alasan selanjutnya adalah ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Masyarakat mencurigai perangkat kelurahan, menganggap bahwa mereka memiliki agenda lain, yakni menggusur mereka dari tempat tinggalnya atas nama kebijakan mitigasi banjir. Hal ini membuat peringatan formal dipandang sebagai “tipuan”, karena menurut mereka, saat rumah mereka kosong, maka lebih mudah bagi pemerintah untuk menggusur.

Selanjutnya, saat tiba waktu evakuasi, kelurahan juga memberikan bantuan berupa tenda, toilet umum, air, makanan, dan obat-obatan. Namun, kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk tidak menggunakan fasilitas yang ditawarkan. Mereka memilih untuk membangun shelter sendiri, dengan bahan seadanya yang mereka kumpulkan. Atap tenda, contohnya, terbuat dari plastik bekas dengan banyaknya lubang. Sederhananya, terdapat keanehan karena masyarakat lebih memilih bersusah-susah, kendati sudah ada fasilitas yang lebih layak untuk digunakan.

Sama halnya dengan proses peringatan banjir, alasan masyarakat enggan berlindung di tenda dari kelurahan adalah karena modal sosial yang telah dibangun dan juga ketidakpercayaan pada pemerintah. Mereka menganggap bahwa perlakuan tersebut merupakan “muslihat” pemerintah untuk menarik rasa percaya masyarakat, sehingga pada akhirnya penggusuran lebih mudah dilakukan. Rasa tidak percaya ini dirasakan bersama-sama, sehingga pada akhirnya menyatukan mereka untuk mampu mengevakuasi diri secara mandiri.

Kendati baiknya kapasitas masyarakat dalam strategi-strategi di atas, tetap saja mereka rentan terhadap ancaman-ancaman seperti banjir (Van Voorst, 2015). Banjir tetap terus mengakibatkan kerugian fisik dan kehilangan harta benda. Selain itu, masyarakat juga biasanya terikat secara ekonomi dengan tempat tinggalnya — banyak pekerjaan yang dilakukan dari rumah. Lalu, masyarakat juga selalu terancam penggusuran, entah lewat kebijakan yang diusung pemerintah dan juga tekanan publik yang cenderung menyalahkan masyarakat secara satu arah karena tinggal di pinggiran sungai (Van Voorst, 2015; Texier, 2008).

Penelitian Texier (2008) menunjukkan bahwa masyarakat kampung-kota yang terdampak banjir bukannya memiliki pemahaman yang minim terkait resiko bencana banjir, namun memang termarjinalkan secara geografis, sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini pun diperburuk dengan pendekatan pemerintah pada saat itu yang melakukan penggusuran atas nama pembangunan (development-induced displacements and resettlements atau DIDR).

Dengan semakin nyatanya fenomena perubahan iklim dan kebijakan yang tetap berujung menjadi “ancaman” bagi para warga yang rentan, maka sampai saat ini pun banyak kelompok masyarakat di Jakarta yang tersudutkan dari berbagai sisi. Pun tidak adanya penggusuran, banjir masih merugikan, tetiba merenggut kesempatan bekerja dan bertahan hidup sehari-hari.

Banjir masih menjadi getir, dan tipu muslihat masih menggeliat dalam keseharian banyak warga Jakarta.

Add a comment

Related posts:

6 Key Elements in Corporate Coaching Program

In the corporate sector, good Corporate Coaching is very important, but it is only possible if you have great coaches. To make it simple it is necessary to have a great coach and even greater…

Artificial Intelligence Provides Lifestyle Tips

This article provides genuine actual quotes from artificial intelligence (AI) that are hilarious. It's full of funny lifestyle tips and information.

Cheap Shopping Destinations

Have you heard of places where you can splurge on your favorite high-end luxury brands, without emptying your wallet? Discover the best budget-friendly shopping destinations via my blog. Hit the link…